Senin, 14 Maret 2016

PUISI

INDAHNYA ALAM NEGERI INI

Kicauan burung terdengar merdu
Menandakan adanya hari baru
Indahnya alam ini membuatku terpaku
Seperti dunia hanya untuk diriku

Kupejamkan mataku sejenak
Kurentangkan tanganku sejenak
Sejuk , tenang , senang kurasakan
Membuatku seperti melayang kegirangan       

Wahai pencipta alam
Kekagumanku sulit untuk kupendam
Dari siang hingga malam
Pesonanya tak pernah padam

Desiran angin yang berirama di pegunungan
Tumbuhan yang menari-nari di pegunungan
Begitu indah rasanya
Bak indahnya taman di surga

Keindahan alam terasa sempurna
Membuat semua orang terpana
Membuat semua orang terkesima
Tetapi, kita harus menjaganya
Agar keindahannya takkan pernah sirna

BIOGRAFI GURU SEKUMPUL

Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (lahir di Tunggul Irang, Martapura, 11 Februari 1942 – meninggal di Martapura, 10 Agustus 2005 pada umur 63 tahun) adalah salah seorang ulama dan tokoh yang sangat kharismatik dan populer di Kalimantan.

Gelar dan silsilah

Terdapat beragam sebutan untuk Muhammad Zaini, di antaranya yang umum adalah:
  • Qusyairi (nama kecil)[1][2]
  • Guru Sekumpul (sebutan yang paling populer)
  • Guru Ijai (Guru Izai)
  • Guru Ijai Sekumpul[1]
  • Tuan guru
  • Abah guru
Adapun gelar panjang yang diberikan oleh masyarakat luas terutama dari kalangan ulama adalah:
  • Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani
  • Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani[1]
  • Syaikhuna al-Alim al-Allamah al-Arif billaah al-Bahr al-Ulum al-Waliy al-Qutb As-Syaikh al-Mukarram Maulana Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari
Guru Sekumpul merupakan keturunan ke-8 dari ulama besar Banjar, Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari.
Adapun silsilahnya adalah:
  • Muhammad Zaini bin Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.[2][3]

Kelahiran dan keluarga

Guru Sekumpul dilahirkan pada malam Rabu 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 Hijriyah) di desa Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar dari pasangan suami-istri Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman dengan Hj. Masliah binti H. Mulia bin Muhyiddin.[1][2]
Muhammad Zaini Abdul Ghani merupakan anak pertama, sedangkan adiknya bernama Hj. Rahmah.[1]
Muhammad Zaini memiliki 2 orang putra, yaitu Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali.[1]

Masa kecil

Guru Sekumpul ketika masih muda.
Guru Sekumpul sewaktu kecil selalu berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Mereka menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar membaca Al-Qur'an. Karena itulah, guru pertama dari Guru Sekumpul adalah ayah dan neneknya sendiri.[2]
Semenjak kecil ia sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama.
Menururut riwayat, Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium tangannya.

Pendidikan

Lingkungan keluarga

Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.
Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada Qusyairi. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.
Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah Guru Sekumpul menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil Qusyairi bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Qusyairi langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.

Madrasah Darussalam

Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, ia mengikuti pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura.
Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura.[3]
Pada masa ini ia sudah belajar dengan guru-guru besar yang spesialis dalam bidang keilmuan seperti :
Tiga yang terakhir merupakan gurunya yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.

Syekh Seman Mulia

Syaikh Seman Mulia adalah pamannya yang secara intensif mendidiknya baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepadanya kecuali di sekolahan. Tetapi, Guru Seman langsung mengajak dan mengantarkan dia mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan) maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, guru Seman mengajak (mengantarkan) Guru Sekumpul kepada al-Alim al-Allamah Syaikh Anang Sya’rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulia adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika Qusyairi ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulia di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.

Syekh Salman Jalil

Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui ketinggian dan kedalamannya yaitu dia dan almarhum K.H. Hanafiah Gobet). Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Salman Jalil ini pada masa tuanya kembali berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang ia contohkan kepada generasi sekarang agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.[4]

Guru khusus

Selain itu, di antara guru-guru Guru Sekumpul lagi selanjutnya :
Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus dia, atau meminjam perkataan dia sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah).
Dari beberapa gurunya lagi adalah :

Kelebihan

Hafal Al-Qur'an dan Tafsir Jalalain

Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan Qusyairi adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun.

Kasyaf Hissi

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiah dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding.
Dalam usia itu pula Qusyairi pernah didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah dia. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat Qusyairi langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar ditobatkan.

Sapinah al-Auliya

Pada usia 9 tahun pas malam jumat Qusyairi bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Qusyairi ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang kosong.
Ketika Qusyairi merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.

Petuah

Salah satu pesan Guru Sekumpul adalah tentang karamah, yakni agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
  1. Menghormati ulama dan orang tua
  2. Baik sangka terhadap muslimin
  3. Murah harta
  4. Manis muka
  5. Jangan menyakiti orang lain
  6. Mengampunkan kesalahan orang lain
  7. Jangan bermusuh-musuhan
  8. Jangan tamak atau serakah
  9. Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
  10. Yakin keselamatan itu pada kebenaran.
Ribuan warga Kota Martapura dan sekitarnya berduyun-duyun menuju lokasi Guru Sekumpul akan dimakamkan dan memenuhi Kawasan Jl. Sekumpul, Martapura.

Karya tulis

Karya tulisnya adalah sebagai berikut :
  • Risalah Mubaraqah.
  • Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al-Madani.
  • Ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
  • Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a’zham Muhammad bin Ali Ba’alawy.

Meninggal dunia

Ribuan jamaah rela berdesak-desakan demi mengantarkan Guru Sekumpul menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.
Kronologis
Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum.
Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.
Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.[3][5]

BIOGRAFI SUKU KUTAI

Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai.
Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak rumpun ot danum ( tradisi lisan orangtua beberapa Suku Kutai yang mengatakan Suku Dayak Lawangan yang kemudian berdiam di Kalimantan Timur melahirkan Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq, kemudian dengan masuknya budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat Suku Kutai yang berbeda budaya dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot Danum (karena masing - masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Di mana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut kepercayaan kaharingan sama halnya dengan Suku Dayak.

Etimologi

Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan tempat ditemukannya prasasti Yupa oleh peneliti Belanda. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya adalah Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai ( Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak.
Kutai menjadi nama suku akibat dari politik kepentingan penguasa saat itu yang berambisi menyatukan Nusantara yaitu Maharaja Kertanegara penerus Singasari yang berasal dari Jawa dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Disaat itu selama kekuasaan Kertanegara sebagian masyarakat asli Borneo yang biasa disebut dengan Masyarakat Dayak akhirnya bertransformasi menjadi Masyarakat Kutai saat berdiam di wilayah Kekuasaan Kerajaan Kertanegara dan diharuskan mematuhi peraturan Penguasa. Yang menolak dan memiliki kesempatan melarikan diri akhirnya masuk ke pedalaman dan tetap menjadi Masyarakat Dayak. Versi lain menyebutkan bahwa istilah dayak juga bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian Belanda yang digunakan oleh para kolonial Belanda untuk menghina masyarakat.
Menurut informasi lain, Nama Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh Pendatang dan Pedagang awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan Ibukota Kerajaannya bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa ( istilah Kalimantan di kitab Jawa )dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang. Dalam berita Champa atau Cina disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar. Ada pendapat lain, dari sudut pandang masyarakat Jawa, bahwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai, akan tetapi ini pada masa Kerajaan Kartanegara.
Menurut Legenda Kerajaan Sendawar dengan Raja Tulur Aji Jangkat bersama permaisuri Mok Manor Bulatn dan mereka memupnyai 5 orang anak : Sualas Gunaaqn (Menjadi Keturunan Dayak Tunjung), Jelivan Benaaq (Menjadi Keturunan Dayak Bahau), Nara Gunaa (Menjadi Keturunan Dayak Benuaq), dan Puncan Karnaaq (Menjadi Keturunan Dayak Kutai ).
Adapaun tradisi lisan di tiap keluarga masyarakat kutai yang mengatakan bahwa leluhur mereka berasal dari negeri cina, mirip dengan tradisi lisan masyarakat Dayak Kenyah. Sehingga ada anggapan bahwa Kutai ini adalah persatuan dari banyak subsuku masyarakat Dayak dalam rangka mencari identitas baru.
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa Kutai pada masa itu adalah nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina, Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai asli akan menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua karena masih satu leluhur.

Bahasa

Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak sub suku memiliki bahasa yang beragam. Beberapa bahasa sub suku yang sudah tidak dipergunakan lagi dan kemungkinan sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan Umaa Sam. Bahasa-bahasa tersebut dulunya lazim digunakan oleh masyarakat Kutai di hulu maupun hilir mahakam.
Saat ini bahasa Kutai terbagi ke dalam 4 dialek yang letaknya tidak saling berdekatan :
  1. Kutai Tenggarong (vkt)
  2. Kutai Kota Bangun (mqg)
  3. Kutai Muara Ancalong (vkt)
  4. Kutai Sengata/Sangatta (belum ada kode bahasanya)
Disamping memiliki beberapa persamaan kosa kata dengan bahasa Banjar, Bahasa Kutai juga memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa Dayak lainnya, misalnya :
  • nade (Bahasa Kutai Kota Bangun); nadai (Bahasa Kantu'), artinya tidak
  • celap (Bahsa Kutai Tenggarong; celap (Bahasa Dayak Iban, Bahasa Dayak Tunjung), jelap (Bahasa Dayak Benuaq) artinya dingin
  • balu (Bahasa Kutai Tenggarong), balu (Bahasa Dayak Iban, balu' Bahasa Dayak Benuaq), artinya janda
  • hek (Bahasa Kutai Tenggarong), he' (Bahasa Dayak Tunjung), artinya tidak

Asal Mula

Menurut tradisi lisan dari Suku Kutai, Proses perpindahan penduduk dari daratan asia yang kini disebut provinsi Yunan - Cina selatan berlangsung antara tahun 3000-1500 Sebelum Masehi. Mereka terdiri dari kelompok yang mengembara hingga sampai di pulau Kalimantan dengan rute perjalanan melewati Hainan, Taiwan, Filipina kemudian menyeberangi Laut Cina Selatan menuju Kalimantan Timur. Pada saat itu perpindahan penduduk dari pulau satu ke pulau lain tidaklah begitu sulit kerena pada zaman es permukaan laut sangat turun akibat pembekuan es di kutub Utara dan Selatan sehingga dengan hanya menggunakan perahu kecil bercadik yang diberi sayap dari batang bambu mereka dengan mudah menyeberangi selat karimata dan laut cina selatan menuju Kalimantan Timur.
Para imigran dari daratan Cina ini masuk ke Kalimantan Timur dalam waktu yang berbeda, kelompok pertama datang sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi termasuk dalam kelompok ras Negrid dan weddid kelompok ini diperkirakan meninggalkan Kalimantan dan sebagiannya punah. Kemudian sekitar tahun 500 sebelum masehi berlangsung lagi arus perpindahan penduduk yang lebih besar dan kelompok inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal penduduk Kutai. Setelah adanya arus perpindahan penduduk dari Yunan terjadilah percampuran penduduk kerena perkawinan.
Penduduk Kutai pada masa itu terbagi menjadi lima puak (lima suku):
  1. Puak Pantun
  2. Puak Punang
  3. Puak Sendawar
  4. Puak Pahu
  5. Puak Melani
Puak Pantun (Kutai Muara Kaman/Kutai Tua-Eks Hindu))
Puak Pantun adalah suku tertua di Kalimantan Timur, dan merupakan suku atau Puak yang paling Tua di antara 5 Suku atau Puak Kutai lainya, mereka adalah suku yang mendirikan kerajaan tertua di Nusantara yaitu kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman pada abad 4 Masehi. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang, suku Kutai pantun dapat dikatakan sebagai turunan para bangsawan dan Pembesar di Kerajaan Kutai Martapura (Kutai Mulawarman). Raja pertamanya dikenal dengan nama Kudungga, dan kerajaan ini jaya pada masa dinasti ketiganya yaitu pada masa Raja Mulawarwan.
Dibawah pimpinan Maharaja Mulawarman, kehidupan sosial dan kemasyarakatan diyakini berkembang dengan baik. Pemerintahan berpusat di Keraton yang berada di Martapura wilayah kekuasaannya terbentang dari Dataran Tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar), Kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun, Kerajaan Pantun di Wahau, Kerajaan Tebalai, hingga ke pesisir Kalimantan Timur, seperti Sungai China, Hulu Dusun dan wilayah lainnya. Dengan penaklukan terhadap kerajaan-kerajan kecil tersebut, kondisi negara dapat stabil sehingga suasana tentram dapat berjalan selama masa pemerintahannya. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang.
Puak Punang (Kutai Kedang)
Puak Punang (Puak Kedang) adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq). Oleh karena itu, logat bahasa Suku Kutai Kedang mengalunkan Nada yang bergelombang. Misalya bahasa Indonesia “Tidak”, Bahasa Kutai “Endik”, Bahasa Kutai Kedang “Inde”…. tegas alas gelombang. Suku ini mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun (atau dikenal dengan nama Negeri Paha pada masa pemerintahan Kutai Matadipura). Puak punang ini tersebar diwilayah Kota Bangun, Muara Muntai, danau semayang, Sungai Belayan dan sekitarnya.
Dalam pemerintahan Kerajaan Kutai Martapura dari tahun, 350-1605, yang beribukota di Muara Kaman, kawasan Kota Bangun diketahui bahwa wilayahnya bernama NEGERI PAHA meliputi daerah : KEHAM, KEDANG DALAM, KEDANG IPIL, LEBAK MANTAN, LEBAK CILONG.
Negeri ini setingkat Provinsi dipimpin seorang Mangkubumi (Adipati Wilayah), suku ini disebut Suku Kutai Kedang (Orang Adat Lawas) adapun pimpinannya berigelar Sri Raja (Raja Kecil) dan Sri Raja terakhir bernama Sri Raja TALIKAT merupakan kerabat Raja di Muara Kaman, dan memerintah di ibukota Keham sampai sekarang masyarakat Adat Lawas masih mendiami daerah tersebut diatas.[1]
Puak Tulur
Puak Tulur adalah suku yang mendiami wilayah Sendawar (Kutai Barat), suku ini mendirikan Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan Rajanya yang terkenal dengan nama Aji Tulur Jejangkat. Puncan Karna anak bungsu Aji Tulur Jejangkat menikah dengan Aji Ratu anak Maharaja Sultan.[2] Suku ini mendiami daerah pedalaman. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian).
  • Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan Melak, Barong Tongkok dan Muara Pahu
  • Suku Benuaq mendiami daerah kecamatan Jempang, Muara Lawa, Damai dan Muara Pahu
  • Suku Bentian mendiami daerah kecamatan Bentian Besar dan Muara Lawa
Suku Dayak Bahau merupakan suku Dayak pendatang di Kutai, selain itu terdapat pula suku-suku Dayak pendatang lain di Tanah Kutai yaitu suku Dayak Kenyah, Punan, Basap, dan Kayan.
  • Suku Kenyah dan Suku Kayan merupakan pendatang dari Apo Kayan, Kab. Bulungan. Kini suku ini mendiami wilayah kecamatan Muara Ancalong, Muara Wahau, Tabang, Long Bagun, Long Pahangai, Long Iram dan Samarinda Ilir.
  • Suku Punan merupakan suku Dayak yang mendiami hutan belantara di seluruh Kalimantan Timur mulai dari daerah Bulungan, Berau hingga Kutai. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon. Mereka dibina oleh Departemen Sosial melalui Proyek Pemasyarakatan Suku Terasing.
  • Suku Basap menurut cerita merupakan keturunan orang-orang Cina yang kawin dengan suku Punan. Mereka mendiami wilayah kecamatan Sangkulirang.
Suku Kutai Puak Pahu, para lelakinya masih memakai cawat
  • Suku Bakumpai berasal dari sungai Barito, Kalimantan Tengah, secara rumpun bahasa, suku ini merupakan sub etnis Dayak Ngaju (Biaju) yang beragama Islam, sedangkan secara rumpun budaya, suku ini tergolong berbudaya Banjar, sehingga sering juga disebut Dayak Banjar atau Banjar Bakumpai. Posisi suku Bakumpai ini secara bahasa dan budaya berada di tengah-tengah menjembatani antara budaya Dayak Ngaju dan budaya Banjar (posisinya mirip suku Kutai puak Pahu). Mereka mendiami daerah kecamatan Long Iram.
Puak Pahu (Dayak Kutai/Kutai Haloq-Eks Kaharingan)
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di Kecamatan Muara Pahu dan sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq-- "behaloq"—menjadi "haloq" meninggalkan "Adat Lawas -- Kaharingan" menjadi "Pahuuq" (Bahasa Dayak Benuaq --> Muslim (menganut Agama Islam).
Puak Melani (Melayu Kutai/Kutai Tenggarong)
Puak Melani adalah masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Mereka merupakan puak termuda di antara puak-puak Kutai, di dalam masyarakat ini telah terjadi percampuran antara suku kutai asli yaitu Dayak, dengan suku pendatang yakni; Banjar, Jawa dan Melayu. Sehingga Puak ini memang sudah berkembang menjadi kesatuan etnis. Puak ini berkembang pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kerajaan jawa yang berdiri di Tanah Kutai. Raja pertamanya bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Puak ini umumnya mendiami wilayah pesisir seperti Kutai Lama dan Tenggarong.
Kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara merupakan Suku Kutai Puak Melani
Dalam perkembangannya puak pantun, punang, pahu dan melani kemudian berkembang menjadi suku kutai yang memiliki bahasa yang mirip namun berbeda dialek. Sedangkan sebagian puak sendawar (puak tulur jejangkat) yang tidak berasimilasi dengan pendatang akhirnya hidup di pedalaman, oleh Peneliti Belanda disebut dengan istilah Orang Dayak.

Kerajaan Tanah Kutai

Di Tanah Kutai diketahui berdiri 3 Kerajaan Besar, yaitu :
  1. Kerajaan Martadipura ( Corak Hindu-Kaharingan-Melayu Tua (penduduk borneo saat itu dayak, subsuku melayu muda nanti dibentuk masyarakat dayak)
  2. Kerajaan Sri Bangun ( Corak Budha-Melayu Sriwijaya dan Melayu Tua)
  3. Kerajaan Kartanegara ( Corak Islam - Asimilasi Jawa dan dayak ( Pengaruh penaklukan ) )

Kisah Pecahnya Puak Tanah Kutai

Disinilah awal terbaginya dua golongan atau kelompok suku asli di Tanah Kutai, yakni Suku Dayak dan Suku Kutai (haloq). Haloq adalah sebutan bagi Suku Dayak atau suku asli Tanah Kutai yang keluar dari adat/budaya/kepercayaan nenek moyang ( Adat, budaya, serta kepercayaan nenek moyang tersebut masih terlihat dari ciri khas Suku Dayak saat ini). Mereka yang behaloq ( Meninggalkan adat ) lebih menerima dan mau berbaur dengan pendatang akibatnya masyarakat ini lebih sering dijumpai di daerah pesisir.
Sebutan haloq mulai timbul ketika suku-suku dari puak-puak kutai di atas mulai banyak meninggalkan kepercayaan lama salah satunya adalah dengan taat pada ajaran Islam, karena adat istiadat, budaya, dan kepercayaan dari suku asli Tanah Kutai tersebut banyak yang bertentangan dalam ajaran Islam. Kemudian karena puak pantun, punang, dan melani sebagian besar meninggalkan adat atau kepercayaan lama mereka, maka mereka mulai di sebut 'orang haloq' oleh puak lain yang masih bertahan dengan kepercayaan lamanya (kepercayaan nenek moyang). Dan puak yang masih bertahan dengan adat/kepercayaan lamanya sebagian besar adalah puak sendawar (puak tulur jejangkat), meskipun sebagian kecil ada juga suku dari puak sendawar yang meninggalkan adat lama (Behaloq). Sejak itulah orang haloq dan orang yg bukan haloq terpisah kehidupannya, karena sudah berbeda adat istiadat.
Lambat laun orang haloq ini menyebut dirinya 'orang kutai' yang berarti orang yang ada di benua Kutai atau orang dari wilayah Kerajaan Kutai. Sejak itu lah kutai lambat laun mulai menjadi nama suku, yang mana suku kutai ini berasal dari puak pantun, punang, pahu dan melani dan sebagian kecil puak sendawar. Sekarang Suku Kutai sudah banyak bercampur dengan etnis lain. Terlihat dari budayanya yang merupakan hasil akulturasi dari beberapa budaya suku lain. Terutama Kutai Kartanegara yang berasal dari Jawa dan bercampur dengan suku asli tanah kutai (saat ini disebut Suku Dayak) tersebut.
Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan dengan adat/kepercayaan lama kemudian berpencar membentuk kelompok-kelompok suku pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi suku Tunjung dan Benuaq. Mereka adalah suku yang disebut Suku Dayak pada masa kini. Dayak adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang Belanda dan peneliti asing, di mana mereka menyebut suku - suku asli yang mendiami pedalaman Kalimantan. Sehingga istilah dayak sendiri sebenarnya bukan berasal dari leluhur orang Kalimantan itu sendiri. Oleh karena itu masih ada beberapa dari Suku Dayak enggan disebut Dayak. Mereka lebih memilih disebut subsukunya, seperti orang Tunjung—orang Benuaq.
Jadi yang disebut Suku Kutai sekarang ini adalah suku dari puak pantun, punang, pahu dan melani yang mudah berakulturasi dengan pendatang dan perlahan meninggalkan adat lamanya. Sedangkan Suku Dayak Tunjung dan Benuaq adalah dari puak sendawar yang tetap teguh memegang keyakinan leluhur. Jadi Suku Kutai bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah suku melayu tua, sama seperti Suku Dayak. Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu muda hanya berdasarkan Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan "darah" (melayu tua).

Problematika klasifikasi Dayak atau Melayu

Perubahan Suku Kutai secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya yaitu Suku Lawangan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Kutai dengan cepat. Istilah "haloq" yang melekat pada Suku Kutai yang berarti "meninggalkan adat lawas" digunakan sebagai kebanggaan bagi yang be"halooq". Tapi bagi Tunjung-Benuaq istilah itu sebagai stigma karena tidak menghargai warisan leluhur. Sehingga Kutai kehilangan jejak Kaharingan / Lawangan, walaupun sebagian kecil ada yg tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Kutai adalah Melayu, padahal tidaklah demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal Suku Kutai. Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan samar. Peneliti seringkali mengklasifikasikan berdasarkan bahasa, sedangkan menurut orang Kutai dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan yang mengklasifikasikan golongan berdasarkan budaya dan sejarah budayanya serta geneologi. Oleh karena itulah Suku Kutai diklasifikasikan ke dalam suku Dayak berbudaya Melayu.

Lagu Kutai

BIOGRAFI SUKU DAYAK

Suku Dayak[4][5][6][7][8][9] (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak[10][11][12][13]) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman[14] yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung[15] Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:[16]

Etimologi

Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Barito tempo dulu.
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.[28][29] Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.[30][31]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[32] Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya[33], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[34] Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.[35] Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[36] Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.[37] Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[38]

Asal mula

Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.[39] Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[40][41], yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[42] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[43] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[butuh rujukan] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.[44]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.[45] Kerajaan Kutai Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur dulunya adalah kerajaan Suku Dayak.

Pembagian sub-sub etnis

Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[46]

Dayak pada masa kini

Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.

Tradisi Penguburan

Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
  • penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
  • penguburan di dalam peti batu (dolmen)
  • penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
  1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[47], selokng dan kotak
  2. wadah tulang-beluang : tempelaaq[48] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)[49][50] Suku Dayak Benuaq :
  1. lubekng (tempat lungun)
  2. garai (tempat lungun, selokng)
  3. gur (lungun)
  4. tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
  1. penguburan tahap pertama (primer)
  2. penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer

  1. Parepm Api (Dayak Benuaq)
  2. Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

  1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
  2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
  3. Marabia
  4. Mambatur (Dayak Maanyan)
  5. Kwangkai[51][52][53][54]/Wara (Dayak Benuaq)

Agama

Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[55]
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[56] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[57] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.[58] Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.[59][60][61][62][63]

Konflik

Keterlibatan

Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen.[64] Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas.[65] Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura.[66] Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses tanggal 27 Agustus 2012.
  2. ^ Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Check |isbn= value (bantuan). Diakses tanggal 27 Agustus 2012.
  3. ^ http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bx.html
  4. ^ Ethnicity and territory in the late colonial imagination
  5. ^ Sellato, Bernard (2002). Innermost BornĂ©o: studies in Dayak cultures. NUS Press. p. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6
  6. ^ Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the skulls of the various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis. Printed for the subscribers.
  7. ^ Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies.
  8. ^ MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7
  9. ^ East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany 12. Wm. H. Allen & Co.
  10. ^ University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta. p. 171.
  11. ^ The London review of politics, society, literature, art, & science 11. J.K. Sharpe (1865). p. 121.
  12. ^ Wood, John George (1870). Uncivilized races of men in all countries of the world: being a comprehensive account of their manners and customs, and of their physical, social, mental, moral and religious characteristics 2. J. B. Burr & co. p. 1110.
  13. ^ "The London Saturday journal (1841)". p. 80.
  14. ^ ? Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini
  15. ^ Haris, Syamsuddin (2004). Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI. Yayasan Obor Indonesia. p. 188. ISBN 979-98014-1-9.ISBN 978-979-98014-1-8
  16. ^ Indonesia, Kalimantan
  17. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/greater-barito
  18. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04.html
  19. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s02.html
  20. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/land-dayak
  21. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s05.html
  22. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/north-borneo
  23. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/tamanic
  24. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s04.html
  25. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/malayic
  26. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s03.html
  27. ^ Schulze, Fritz; Holger Warnk (2006). Insular Southeast Asia: linguistic and cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto Harrassowitz Verlag. p. 47. ISBN 3447054778. ISBN 9783447054775
  28. ^ King, 1993:29
  29. ^ Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia 1 (2 ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9
  30. ^ King, 1993:30
  31. ^ Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 8. ISBN 979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2
  32. ^ Tegg, Thomas (1829). London encyclopaedia; or, Universal dictionary of science, art, literature and practical mechanics: comprising a popular view of the present state of knowledge 4. Printed for Thomas Tegg. p. 338.
  33. ^ Foreign missionary chronicle. s.n. (1838). p. 261.
  34. ^ King, 1993.
  35. ^ Rousseau, 1990
  36. ^ Commans, 1987: 6
  37. ^ Lahajir et al., 1993:4
  38. ^ Lahajir et al., 1993:3
  39. ^ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978
  40. ^ Nansarunai Usak Jawa
  41. ^ Usak Jawa
  42. ^ Fridolin Ukur, 1971
  43. ^ Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. p. 216. ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1
  44. ^ http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf
  45. ^ Sarwoto Kertod ipoero, 1963
  46. ^ Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat, J.U. Lontaan. 1975
  47. ^ http://perpustakaan.kaltimprov.go.id/deposit-13-lungun-dan-upacara-adat-kematian-suku-dayak-benuaq.html
  48. ^ http://berita.liputan6.com/read/42277/tempelaaq_tempat_tulang_belulang_leluhur_suku_dayak
  49. ^ http://reverendum.blogspot.com/2011/06/6-kuburan-paling-aneh-di-indonesia.html
  50. ^ http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/06/15/KRI/mbm.19850615.KRI39073.id.html
  51. ^ Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
  52. ^ http://catalogue.nla.gov.au/Record/1156006
  53. ^ http://www.youtube.com/watch?v=kThegt6b3CE
  54. ^ http://budimasnet.blogspot.com/2011/03/adat-kematian.html
  55. ^ Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries
  56. ^ Kerajaan Sri Bangun Kerajaan Bercorak Budha
  57. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
  58. ^ Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma, ed. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. p. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0
  59. ^ Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. p. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9
  60. ^ Evangelical (1836). "Evangelical magazine and missionary chronicle," 14. s.n. p. 578.
  61. ^ End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
  62. ^ Foreign missionary chronicle 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church. p. 87.
  63. ^ Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903. KITLV Press. p. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
  64. ^ MacDougall, 1999
  65. ^ Mac Dougall, 1999
  66. ^ lihat, misalnya Manuntung, 22 Maret 1999

Bacaan l